Senin, 31 Mei 2010

Etika Bisnis Dan Profesi
Mahasiswa : Alain Kusuma Putra
No. Mhs. : 142050272
Jurusan : Ekonomi Akuntansi
Kasus Kimia Farma
Latar BelakangPT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan.Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.Permasalahan
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi.Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
Daftar PustakaBapepam, Kasus PT Kimia Farma Tbk, Siaran Pers Bapepam, 27 Desember 2002
Bapepam, Peraturan No VIII.A.2 tentang Independensi Akuntan Yang Memberikan jasa Audit di Pasar Modal
Imam Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tungga, Memahami Sarbanes-Oxley Act (SOX) 2002, Harvarindo, 2005
KMK NO 423/kmk.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik
Tempo Interaktif, Kimia Farma Lakukan Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan, 3 Oktober 2002
Tempo Interaktif, Hasil Audit Kimia Farma akan Selesai Akhir September, 19 September 2002
Tempo Interaktif, Bapepam Larang Peran Ganda Akuntan Publik, 4 November 2002
2. Penyajian Kembali Laporan Keuangan PT. Aneka Tambang Tbk.Tahun 2002
Permasalahan di PT Antam Tbk. Dikarenakan belum dicadangkannya kewajiban perusahaan dalam pelayanan kesehatan pensiunan dan ini memang di atur secara spesipik dalam PSAK, khususnya pada PSAK 57 yang mengatur soal bantuan dan ini dipersepsikan oleh para profesional manajemen BUMN hanya bersifat sukarela jadi belum layak untuk dicadangkan.Tetapi bila para profesional mengacu pada IAS (Intenational Accounting Standard) dimana pada intinya menjelaskan menfaat pelayanan kesehatan pensiun diakui sebagai beban atau pendapatan selama sisa masa kerja karyawan dengan menggunakan asumsi aktuaria yang independen.Permasalahan ini yang sempat membuat ketegangan diantara komisaris dan manajemen. Dan masalah ini pula yang membuat auditor independennya Kantor Akuntan Publik (KAP) Hadi Sutanto & Rekan yang berafiliasi dengan PwC untuk reaudit LK Konsolidasi tahun 2002 dan menolak untuk menandatangani LK Konsolidasi 2002 dan 2003 yang disajikan kembali, akrena masih mempersoalkan besarnya pencadangan untuk bantuan Pelayanan Kesehatan Pensiunan yang akhirnya menunjuk PT Dayamandiri Dharmakonsiindo sebagai aktuaria yang independen untuk menghitungnya.Dan setelah selesai akhirnya pihak mananajemen dan komisaris PT Antam membukukan atas bantuan biaya bantuan pelayanan kesehatan pensiunan ini meningkatkan nilai kewajiban perusahaan sebesar Rp. 395 miliar (USD 46.5 juta), dengan perincian sebesar Rp. 376 miliar (USD 44 juta) dimasukkan dalam kewajiban dana kesehatan-tidak lancar, sementara sisanya sebesar Rp. 19 miliar (USD 2.2 juta) masuk ke dalam kewajiban dana kesehatan-lancar.
Sesuai dengan perhitungan aktuaris independen dalam tahu 2003 perusahaan membebankan sebesar Rp. 47 miliar yang dari jumlah tersebut sebesar Rp. 17 miliar sudah dibukukan dan sisanya sebesar Rp. 30 miliar dimasukkan ke dalam pos beban umum dan administrasi dan seiring dengan itu, manajemenmenetapkan kebijakan pengendalian bantuan pelayanan kesehatan dan membukukan beban dan kewajiban itu secra retroaktif dari tahun 2001.Dimana pengendalian biaya bantuan kesehatan dilakukan dengan menetapkan platform biaya bantuan kesehatan untuk rawat jalan sebesar Rp. 5 juta (USD 584) per keluarga pensiunan per tahun. Selain itu pengendalian biaya bantuan kesehatan pensiunan juga bermanfaat untuk menyiptakan rasa aman kepada pensiunan dan keluarganya. Barulah setelah itu KAP Hadi Susanto mau menandatangani.
Sumber: Majalah Auditor Nomor 14/Apr-Mei/2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar